Tarif PPh Badan
Selain orang pribadi, subjek pajak lain yang memiliki kewajiban membayar pajak adalah badan. Menurut ketentuan perpajakan, yang dimaksud dengan badan adalah sekumpulan orang atau modal yang menjadi suatu kesatuan, dengan tujuan untuk melakukan usaha ataupun tidak melakukan usaha.
Bentuk-bentuk badan antara lain adalah perseroan komanditer, perseroan terbatas, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, firma, koperasi, kongsi, dana pensiun, yayasan, lembaga, organisasi massa, organisasi sosial politik, dan bentuk lainnya. Tidak hanya itu, badan juga dapat berbentuk perkumpulan seperti asosiasi, perhimpunan, dan ikatan.
Dasar hukum dari ketentuan wajib pajak badan ini telah diatur dalam Undang-undang (UU) tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang merupakan peraturan terbaru dan telah berlaku sejak 1 Januari 2022 lalu.
Perubahan Aturan PPh berdasarkan UU HPP
Dalam UU HPP, beberapa aturan tentang Pajak Penghasilan (PPh) juga terjadi, di antaranya:
- Pajak atas Natura: Pembahasan PPh atas onatura atau fasilitas dari pemberi kerja, meliputi makanan dan minuman, natura untuk daerah tertentu, natura karena keharusan pekerjaan (seragam, alat keselamatan kerja, dan lainnya), natura yang bersumber dari APBN/APBD, dan natura dengan jenis dan batasan tertentu.
- PPh Pengusaha Perorangan (UMKM): Perubahan tarif pajak final dari 0,5% (PP No. 23 Tahun 2018) menjadi 0% atau tidak dikenai pajak untuk peredaran bruto setahun sampai dengan Rp500juta.
- PPh Badan: Perubahan tarif tahun 2022 dari 20% kebali menjadi 22%.
- PPh Orang Pribadi: Perubahan lapisan tarif pajak Pasal 17 ayat (1) huruf a UU Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008.
Seperti yang dlihat bahwa terdapat perubahan tarif pada PPh Badan pada Tahun 2022 yang tadinya 20% menjadi 22%.
Cara Menghitung PPh Badan
Sebagai subjek pajak dalam negeri, badan memiliki kewajiban untuk membayar pajak sejak saat didirikan atau berkedudukan di Indonesia. Kewajiban tersebut akan berakhir ketika badan dibubarkan atau tidak lagi berkedudukan di Indonesia. Untuk menghitung pajak yang dikenakan pada badan atas penghasilan yang didapatkan, berikut mekanisme yang umum digunakan.
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak
Untuk mendapatkan nominal penghasilan kena pajak badan, pertama-tama wajib pajak badan perlu mengetahui besaran jumlah penghasilan bruto yang didapatkan selama 1 tahun berjalan. Kemudian, kurangi penghasilan bruto tersebut dengan biaya-biaya yang boleh dikurangkan (deductible expense).
Biaya yang dapat dikurangkan sebagaimana diatur dalam ketentuan fiskal adalah biaya yang terkait dengan upaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (3M). Biaya-biaya ini diatur dalam UU HPP Pasal 6, di antaranya:
- Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, contohnya biaya pembelian lahan, biaya promosi dan penjualan yang diatur berdasarkan PMK No. 02/PMK/03/2010
- Biaya penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud
- Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan
- Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta perusahaan untuk 3M
- Kerugian selisih kurs mata uang asing
- Biaya penelitian yang dilakukan di Indonesia
- Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan
- Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
- Sumbangan penanggulangan bencana nasional
- Sumbangan penelitian yang dilakukan di Indonesia
- Sumbangan biaya pembangunan infrastruktur sosial
- Sumbangan fasilitas pendidikan
- Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga
Sementara di dalam perusahaan, terdapat biaya-biaya yang tidak boleh dikurangkan (non-deductible expense). Biaya ini diatur dalam Pasal 9 UU HPP, di antaranya:
- Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi
- Biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota
- Pembentukan atau pemupukan dana cadangan
- Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh wajib pajak orang pribadi
- Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura atau kenikmatan
- Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa
- Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b UU HPP
- Pajak penghasilan
- Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi wajib pajak orang pribadi atau orang yang menjadi tanggungannya
- Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham
Sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan - Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11A UU HPP
Biaya yang termasuk ke dalam deductible expense tidak dapat digunakan sebagai pengurang untuk menghitung penghasilan kena pajak. Karena itu, ada baiknya untuk memisahkan terlebih dahulu antara deductible expense dan non-deductible expense dalam menghitung PPh Badan.
Biaya-biaya yang termasuk ke dalam non-deductible expense ini akan menimbulkan koreksi fiskal positif, dan biaya-biaya yang termasuk ke dalam deductible expense akan menimbulkan koreksi fiskal negatif.
Selanjutnya, didapatkan penghasilan neto fiskal, yaitu penghasilan neto yang diterima oleh wajib pajak dalam negeri, baik dari kegiatan usaha maupun bukan, setelah melewati proses rekonsiliasi fiskal yang berdasarkan ketentuan perpajakan.
Penghasilan neto fiskal ini kemudian dikurangkan dengan kompensasi kerugian fiskal, yaitu sisa saldo kerugian badan dari tahun sebelumnya (jika ada). Sebagai informasi, kerugian fiskal yang akan dikompensasikan wajib dihitung berdasarkan aturan perpajakan terlebih dahulu dan bukan merupakan kerugian komersial.
Kemudian, hasil dari pengurangan penghasilan neto fiskal dan kompensasi kerugian fiskal tersebut adalah besaran penghasilan kena pajak yang dimaksud.
Jika penghasilan bruto setelah pengurangan biaya-biaya tersebut didapat kerugian sehingga tidak terdapat penghasilan kena pajak, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun berikutnya.
Penghitungan PPh Terutang
Untuk mendapatkan nominal PPh terutang atau pajak penghasilan yang dibayarkan, wajib pajak dapat mengalikan penghasilan kena pajak dengan tarif pajak yang berlaku.
Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) bagian b UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, tarif pajak yang dikenakan kepada badan adalah 22%. Besar tarif ini berlaku mulai 1 Januari 2022.
Selanjutnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020, pemerintah menurunkan tarif umum PPh Badan menjadi 22% untuk tahun 2020 dan 2021, lalu menjadi 20%. Namun, dengan adanya UU HPP, tarif PPh Badan kembali 22%.
Sedangkan untuk perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbuka (Go Public) dengan jumlah keseluruhan saham yang diperdagangkan di bursa efek di Indonesia paling sedikit 40%, dan memenuhi syarat tertentu, memperoleh tarif 3% lebih rendah dari tarif umum PPh Badan.
Setelah mendapatkan besaran PPh yang terutang, jangan lupa untuk mengkreditkan pajak-pajak lain, seperti:
- PPh lain yang sudah dibayarkan melalui mekanisme pemotongan (Withholding Tax) oleh pihak ketiga (PPh 23 dan PPh 22).
- Angsuran PPh Badan yang telah dicicil dan dibayarkan sendiri (PPh 25 Badan).
- PPh yang telah dibayarkan di luar Indonesia (PPh 24 Kredit Pajak Luar Negeri).
Kemudian, akan didapatkan perhitungan akhir PPh Badan, baik kurang bayar atau lebih bayar.
Baca Juga : Ketentuan Terbaru e-Filling SPT PPh Badan
Ketentuan Fasilitas Pengurangan Tarif
Wajib pajak badan dalam negeri mendapatkan fasilitas pengurangan tarif. Fasilitas pengurangan tarif ini ditentukan berdasarkan besaran peredaran bruto.
Jika peredaran bruto berada di antara Rp4,8 miliar–Rp50 miliar, maka wajib pajak badan mendapatkan fasilitas pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif yang dikenakan atas penghasilan kena pajak dari peredaran bruto yang berjumlah Rp4,8 miliar.
Berikut rumusnya:
- Peredaran bruto kurang atau sama dengan Rp4,8 miliar adalah 50% x 22% x penghasilan kena pajak.
- Peredaran bruto lebih dari Rp4,8 miliar sampai Rp50 miliar adalah [(50% x 22%) x penghasilan kena pajak yang memperoleh fasilitas] + [22% x penghasilan kena pajak tidak memperoleh fasilitas].
Tetapi jika peredaran bruto di atas Rp50 miliar, akan dihitung berdasarkan ketentuan umum atau tanpa fasilitas pengurangan tarif. Hasilnya, besar PPh Badan tetap 22% dikalikan penghasilan kena pajak.
Contoh Sederhana Penghitungan SPT PPh Badan
Mari mencoba menghitung PPh Badan menggunakan penjelasan di atas. Berikut ini ada dua contoh penghitungan PPh Badan yang menggunakan fasilitas pengurangan tarif dan tidak. Mengutip dari laman Pajak.go.id, berikut contoh kasus penghitungan PPh Badan:
Contoh Penghitungan PPh Badan dengan Fasilitas Pengurangan Tarif Pasal 31E
Pada tahun 2020, PT Abjad XYZ memperoleh penghasilan bruto sebesar Rp 6 Miliar. Selain itu, diketahui selama tahun berjalan tersebut, PT Abjad XYZ memiliki rincian beban dan pendapatan sebagai berikut:
- Pengeluaran biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan bruto sebesar Rp5,4 miliar.
- Mendapatkan penghasilan lainnya sebesar Rp50 juta.
- Pengeluaran biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan lainnya sebesar Rp30 juta.
- Kompensasi kerugian fiskal dari tahun sebelumnya Rp10 juta.
- Kredit PPh Pasal 25 Rp100 juta.
- Kredit PPh Pasal 22 Rp10 juta.
- Kredit PPh Pasal 23 Rp20 juta.
Berapa besaran PPh terutang PT Abjad XYZ untuk dibayar dan dilaporkan pada SPT Tahunan PPh Badan? Pertama-tama, terlebih dahulu mencari besaran penghasilan kena pajak PT Abjad XYZ:
Peredaran Bruto – Biaya 3M Peredaran Bruto = Penghasilan Neto
Rp6.000.000.000 – Rp5.400.000.000 = Rp600.000.000
Penghasilan lainnya – Biaya 3M Penghasilan Lainnya = Penghasilan Neto Lainnya
Rp50.000.000 – Rp30.000.000 = Rp20.000.000
Total Penghasilan Neto = Rp600.000.000 + Rp20.000.000
Total Penghasilan Neto = Rp620.000.000
Penghasilan Kena Pajak = Total Penghasilan Neto – Kompensasi Kerugian
Penghasilan Kena Pajak = Rp620.000.000 – Rp10.000.000
Penghasilan Kena Pajak PT Abjad XYZ adalah sebesar Rp610.000.000
Karena omzet peredaran bruto PT Abjad XYZ di atas Rp4,8 miliar, maka memperoleh fasilitas pengurangan tarif:
Jumlah penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas
(Rp4.800.000.000 x Rp610.000.000) / Rp6.000.000.000 = Rp488.000.000
Jumlah penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas
Rp610.000.000 – Rp488.000.000 = Rp122.000.000
Maka, besaran PPh terutangnya adalah
(50% x 22%) x Rp488.000.000 = Rp53.680.000
22% x Rp122.000.000 = Rp26.840.000
Total PPh terutang= Rp53.680.000 + Rp26.840.000
PPh terutang PT Abjad XYZ adalah sebesar Rp80.520.000
PT Abjad XYZ memiliki beberapa kredit pajak penghasilan yang sudah dibayar:
PPh Pasal 22 + PPh Pasal 23 + PPh Pasal 25
Rp10.000.000 + Rp20.000.000 + Rp100.000.000
Maka, PPh terutang dikurangi dengan total kredit pajak tersebut.
Rp80.520.000 – Rp130.000.000= (Rp49.480.000)
Dalam hal ini, PT Abjad XYZ memiliki lebih bayar pajak sebesar Rp49.480.000
Contoh Penghitungan PPh Badan Tanpa Fasilitas Pengurangan Tarif Pasal 31E
Pada tahun 2020, PT Abjad XYZ memperoleh penghasilan bruto sebesar Rp60 Miliar. Selain itu, diketahui selama tahun berjalan tersebut, PT Abjad XYZ memiliki rincian beban dan pendapatan sebagai berikut:
- Pengeluaran biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan bruto sebesar Rp54 miliar.
- Mendapatkan penghasilan lainnya sebesar Rp500 juta.
- Pengeluaran biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan lainnya sebesar Rp300 juta.
- Kompensasi kerugian fiskal dari tahun sebelumnya Rp100 juta.
- Kredit PPh Pasal 25 Rp500 juta.
- Kredit PPh Pasal 22 Rp100 juta.
- Kredit PPh Pasal 23 Rp400 juta.
Berapa besaran PPh terutang PT Abjad XYZ untuk dibayar dan dilaporkan pada SPT Tahunan PPh Badan? Pertama-tama, terlebih dahulu mencari besaran penghasilan kena pajak PT Abjad XYZ:
Peredaran Bruto – Biaya 3M Peredaran Bruto = Penghasilan Neto
Rp60.000.000.000 – Rp54.000.000.000 = Rp6.000.000.000
Penghasilan lainnya – Biaya 3M Penghasilan Lainnya = Penghasilan Neto Lainnya
Rp500.000.000 – Rp300.000.000 = Rp200.000.000
Total Penghasilan Neto = Rp6.000.000.000 + Rp200.000.000
Total Penghasilan Neto = Rp6.200.000.000
Penghasilan Kena Pajak = Total Penghasilan Neto – Kompensasi Kerugian
Penghasilan Kena Pajak = Rp6.200.000.000 – Rp100.000.000
Penghasilan Kena Pajak PT Abjad XYZ adalah sebesar Rp6.100.000.000
Karena omzet peredaran bruto PT Abjad XYZ di atas Rp50 miliar, maka tidak memperoleh fasilitas pengurangan tarif sehingga penghitungannya:
22% x Penghasilan Kena Pajak
22% x Rp6.100.000.000 = Rp1.342.000.000
PPh terutang PT Abjad XYZ adalah sebesar Rp1.342.000.000
PT Abjad XYZ memiliki beberapa kredit pajak penghasilan yang sudah dibayar:
PPh Pasal 22 + PPh Pasal 23 + PPh Pasal 25
Rp100.000.000 + Rp400.000.000 + Rp500.000.000
Maka, PPh terutang dikurangi dengan total kredit pajak tersebut.
Rp1.342.000.000 – Rp1.000.000.000= Rp342.000.000
Dalam hal ini, PT Abjad XYZ masih harus membayar pajak sebesar Rp342.000.000
Setelah mendapatkan nominal PPh kurang bayar, wajib pajak badan kemudian dapat menyetorkan dan melaporkan SPT Tahunan PPh Badan pada negara. Proses setor dan lapor ini dapat dilakukan melalui situs resmi DJP di e-SPT.
Alternatif lainnya, wajib pajak badan juga dapat melakukannya SPT PPh Badan mereka melalui OnlinePajak, penyedia jasa aplikasi perpajakan (PJAP) mitra resmi DJP. Proses hitung, setor, dan lapor dapat dilakukan di satu aplikasi terpusat dengan nyaman dan aman. Tertarik menggunakan OnlinePajak? Daftar sekarang! atau Hubungi Team Support Kami