Pengertian Tanggung Jawab Renteng
Tanggung jawab renteng merupakan pelimpahan tanggung jawab atas suatu pembayaran yang terutang secara renteng (beruntun) sesuai dengan urutan. Tanggung jawab renteng dapat terjadi ketika ada dua pihak atau lebih yang terkait dengan pembayaran terutang.
Pengertian ini mengacu pada penggunaan istilah renteng itu sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata renteng mengacu pada sesuatu yang beruntun dan berurutan. Umumnya, istilah ini disandingkan dengan kata lain.
Maka, apabila disandingkan dengan kata “tanggung jawab”, maka kata “renteng” akan memiliki makna yang lebih jelas, yakni tanggung jawab yang berlaku berurutan.
Tanggung Jawab Renteng dalam Perpajakan
Dalam dunia perpajakan, tanggung jawab renteng mengacu pada tanggung jawab pembayaran atas PPN terutang terhadap penjualan Barang/ penyerahan Jasa Kena Pajak (BKP/JKP), serta penjualan barang yang terkena Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
Perlakuan tanggung jawab renteng pada PPN atas penjualan/penyerahan BKP/JKP ini tertuang pada UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
UU Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 16F secara spesifik menyebutkan bahwa pembeli BKP atau penerima JKP bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar.
Penyebab Terjadinya Tanggung Jawab Renteng
Timbulnya tanggung jawab renteng dalam hukum perpajakan Indonesia disebabkan karena prinsip pembayaran PPN melekat, baik kepada penjual maupun pembeli.
Pembeli bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang apabila pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagihkan kepada penjual atau misalnya ketika pembeli/penerima BKP/JKP tidak mampu menunjukkan bukti pembayaran pajak kepada penjual/pemberi BKP/JKP.
Hal ini tidak terlepas dari karakteristik PPN itu sendiri, yakni merupakan:
- Pajak objektif.
- Pajak atas konsumsi umum dalam negeri.
- Pajak tidak langsung.
Ketiga karakteristik PPN inilah yang menyebabkan timbulnya tanggung jawab renteng. Dari karakteristik pajak objektif misalnya, dimana dalam pajak objektif kondisi subjektif konsumen tidak dipertimbangkan. Sepanjang merupakan objek pajak maka terhadap konsumen tersebut dikenai pajak yang sama.
Atas karakteristik PPN sebagai pajak atas konsumsi umum dalam negeri pun demikian. Sepanjang BKP atau JKP masih berada dalam siklus produksi atau distribusi pengenaan PPN dapat dilimpahkan kepada pembeli berikutnya melalui mekanisme pengreditan pajak masukan.
Baca Juga:
- Ini Langkah Pembatalan Faktur Pajak PPN di OnlinePajak
- Terjadi Masalah Saat e-Filing PPN? Ini Penyebab & Solusinya
Sementara, dipandang dari karakteristik PPN sebagai pajak tidak langsung. Konsumen dalam hal ini merupakan pemikul beban pajak, sementara penjual merupakan pihak yang wajib menyetor pajak ke kas negara.
Jadi, tanggung jawab renteng dalam konteks Pasal 16F UU No 42/2009 mengacu pada pelimpahan beban tanggung jawab pembayaran pajak terutang ke kas negara yang terjadi karena adanya penyerahan BKP/JKP kepada pembeli, yang semestinya pembayaran pajak terutang ini adalah tanggung jawab penyedia BKP/JKP.
Kaitan dengan Faktur Sebagai Dokumen Bayar Pajak
Tanggung jawab renteng sangat erat kaitannya dengan faktur pajak. Pasalnya, sifat faktur pajak adalah sebagai dokumen pembuktian bahwa PKP telah melakukan pemungutan pajak.
Faktur pajak sendiri terdiri dari dua, yakni:
- Faktur Pajak Keluaran adalah faktur pajak yang dibuat oleh PKP saat melakukan penjualan terhadap BKP, JKP, dan atau barang kena pajak yang tergolong barang mewah.
- Faktur Pajak Masukan adalah faktur pajak yang didapatkan oleh PKP ketika melakukan pembelian terhadap barang kena pajak atau jasa kena pajak dari PKP lainnya.
Nah, ketika ada aktivitas penyerahan BKP/JKP, pihak penjual seharusnya menerbitkan faktur pajak keluaran yang berisi bukti pungutan PPN yang dibebankan ke pembeli. Nah, ketika penjual lalai menerbitkan faktur pajak keluaran, dalam arti terlambat atau ada kesalahan dalam pencatatan, maka yang akan dikejar oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) adalah pihak pembeli.
Namun, DJP juga tidak serta merta langsung mengejar PKP pembeli. DJP pasti akan berusaha memeriksa terlebih dahulu PKP penjual. Ketika PKP penjual tidak bisa ditagih atas pajak terutang, entah karena alasan apapun (bisa jadi PKP lari dari tanggung jawab), maka tanggung jawab pembayaran pajak terutang tersebut akan jatuh ke PKP pembeli, meski PKP pembeli tersebut belum menerima faktur pajak yang seharusnya diterbitkan PKP penjual.
Jika DJP memeriksa PKP penjual dan menemukan bahwa PKP penjual tidak menerbitkan faktur pajak maka terhadap PKP penjual ditetapkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPN dan Surat Tagihan Pajak atas sanksi tidak membuat faktur pajak.