Bisnis franchise atau waralaba dikenakan pajak pertambahan nilai atau PPN. Dalam praktiknya, pengenaan PPN ini tergantung pada letak atau posisi pemberi bisnis franchise. Tidak hanya PPN, bisnis franchise juga dikenakan beberapa jenis pajak penghasilan atau PPh, seperti PPh 21 dan PPh 23. Mari membahas mengenai perlakuan pajak bisnis waralaba di artikel ini.
Pajak Franchise
Pernah mendengar istilah franchise (waralaba)? Franchise adalah perjanjian bisnis menggunakan ciri identitas/pengenal sebuah brand (nama produk, logo dan penggunaan rencana pemasaran).
Dalam praktik bisnisnya, franchise dikenakan Pajak Pertambahan Nilai yang umumnya dikenal dengan istilah pajak franchise.
Lalu bagaimana penerapan pajak franchise? Apa saja jenis pajak yang dikenakan dan bagaimana cara pemungutan pajaknya? Sebelum lebih jauh membahas pajak franchise, mari kita lihat dulu sekilas mengenai bisnis franchise.
Bisnis franchise memiliki prosedur pendaftaran yang tidak sulit sehingga peminat franchise dapat segera memulai bisnis. Franchise adalah bentuk hubungan kemitraan antara pemilik waralaba/pewaralaba dengan penerima waralaba dalam mengadakan persetujuan jual beli hal monopoli untuk menyelenggarakan usaha waralaba.
Kerjasama ini biasanya didukung dengan pemilihan tempat, rencana bangunan, pembelian peralatan, stardardisasi, riset dan sumber permodalan. Kunci dari franchise adalah kekuatan brand. Sebelum mewaralabakan usahanya, setiap pengusaha harus mendaftarkan merek dagang ke Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Indonesia.
Peraturan Pajak Franchise
1. PPN
Setiap jenis usaha pasti memiliki aspek perpajakan, tak terkecuali bisnis franchise. Salah satu peraturan yang mengatur franchise adalah Undang-Undang PPN Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN) sebagaimana telah diubah terakhir menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP).
Menurut dasar hukumnya benda yang wajib dikenakan PPN adalah barang berwujud yang menurut sifat dan hukumnya dapat berupa barang bergerak/ barang tidak bergerak/ barang tidak berwujud.
Barang sebagai objek PPN dapat dibagi menjadi dua, yakni:
- Barang berwujud: transaksi yang melibatkan barang-barang berwujud.
- Barang tidak berwujud: transaksi yang melibatkan barang-barang tidak berwujud.
Jika pihak pemberi franchise berada di dalam daerah pabean, maka atas penyerahan merek tersebut dikenakan PPN atas penyerahan BKP di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha.
Apabila pihak pemilik waralaba terletak diluar daerah pabean, maka termasuk dalam kategori pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
Kemudian, berdasarkan UU PPN tahun 1984 dalam bisnis franchise terdapat dua transaksi terutang, yaitu:
- Penyerahan jasa dari pemilik waralaba kepada pemakai berupa hak-hak penggunaan merek dagang untuk dipergunakan oleh pemakai franchise.
- Penyerahan barang kena pajak oleh pemakai franchise/pemilik waralaba dalam negeri kepada pihak lain.
Perubahan Objek Pajak Franchise
Pada awalnya, pasal 4 UU PPN tahun 1984 mengatur beberapa hal mengenai penyerahan BKP yang dilakukan di daerah pabean dalam lingkungan perusahaan/pekerjaan oleh pengusaha yang:
- Menghasilkan BKP.
- Mengimpor BKP.
- Mempunyai hubungan istimewa dengan pengusaha yang mengimpor dan menghasilkan BKP.
- Bertindak sebagai penyalur utama/agen utama dari pengusaha penghasil BKP.
- Menjadi pemegang hak/ pemegang hak menggunakan paten dan merek dagang dari BKP tersebut.
Kemudian terjadi perubahan dengan ketentuan PPN dikenakan atas:
- Penyerahan Barang Kena Pajak dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha.
- Impor Barang Kena Pajak.
- Penyerahan Jasa Kena pajak yang dilakukan dalam daerah pabean oleh pengusaha.
- Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
- Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
- Ekspor BKP oleh PKP.
Setelah adanya perubahan terlihat bahwa BKP dibagi menjadi BKP Berwujud dan BKP Tidak Berwujud.
UU PPN baru lebih menegaskan lagi bahwa ekspor BKP tidak berwujud termasuk objek PPN. Termasuk didalamnya adalah merek dagang dan bentuk kekayaan intelektual/industrial/ hak serupa lainnya.
Baca Juga: Ini Daftar UU yang Mengatur PPN dan Regulasi Terbaru yang Berlaku
2. Pajak Franchise Lainnya
Selain dikenakan PPN, Berdasarkan UU no. 36 tahun 2008 sebagaimana telah diubah terakhir menjadi UU HPP, subjek pajak dalam usaha franchise juga dikenakan Pajak Penghasilan perorangan dan pajak penghasilan badan dan bentuk usaha tetap yaitu
- PPh 21. Dalam PPh 21, wajib pajak harus melaporkan semua biaya terkait karyawan tetap/tidak tetap dan biaya jasa lainnya yang dilakukan orang pribadi.
- PPh23. Selain dikenakan PPh 21, bisnis pengadopsi merek dalam bisnis franchise juga dikenakan PPh 23 dimana pengadopsi merek harus menyetorkan biaya royalti kepada pemilik franchise sebesar 15% dan biasa jasa lainnnya yang dilakukan oleh badan usaha, ataupun terdapat persewaan atas penggunaan harta/aset. Jika pemilik franchise dari luar negeri maka yang terutang adalah PPh 23 sebesar 20% dan terutang PPN 10%.
Penyetoran dan Pelaporan Pajak Franchise
PPN yang terutang atas pemanfaatan BKP tidak berwujud/ jasa kena pajak dari luar daerah pabean wajib dipungut dan disetorkan seluruhnya ke kas negara melalui kantor pos/bank persepsi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak oleh orang pribadi/badan yang memanfaatkan BKP Tidak Berwujud/ JKP dari luar daerah pabean, paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah terutangnya pajak.
Dengan rincian tarif sebagai berikut:
- 11% dikali jumlah yang dibayar/seharusnya dibayar kepada pihak yang menyerahkan BKP/JKP tidak berwujud, jika dalam jumlah yang dibayarkan/seharusnya dibayarkan tidak termasuk PPN.
- 11/100 dikali jumlah yang dibayarkan/seharusnya dibayar kepada pihak yang menyerahkan BKP/JKP tidak berwujud, jika dalam jumlah yang dibayarkan sudah termasuk PPN.
Baca Juga: Ini Tarif PPN 2022 yang Berlaku dan Contoh Mudah Perhitungannya
Referensi
UU PPN tahun 1984
Undang-Undang PPN Nomor 42 Tahun 2009
UU no. 36 tahun 2008
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021