Thin Capitalization dan Investasi Bisnis
Dalam dunia investasi bisnis, ada bermacam-macam langkah yang dapat dijadikan pertimbangan, yang tentunya dilakukan guna memberikan keuntungan bagi perusahaan. Salah satu kondisi yang banyak dilakukan oleh banyak perusahaan adalah thin capitalization.
Thin capitalization adalah keadaan dimana sebuah perusahaan memiliki utang yang lebih besar ketika dibandingkan dengan modal yang tersedia. Thin capitalization atau Thin Capitalization Rules (TCR) juga berlaku untuk kondisi peminjaman modal secara terselubung yang melampaui batas kewajaran. Konsep ini biasa digunakan oleh perusahaan multinasional.
Baca Juga: Apa itu Foreign Direct Investment
Pinjaman ini dapat berupa uang, modal dari pemegang saham atau pihak lain. Ada beberapa jenis pinjaman yang biasa dilakukan dalam menerapkan konsep TCR, di antaranya:
- Parallel loan: Investor asing mencari perusahaan Indonesia untuk dijadikan mitra. Perusahaan Indonesia ini harus memiliki anak perusahaan yang berada di negara investor.
- Back to back loan: Investor menyerahkan dana kepada mediator yang telah ditunjuk sebagi pihak ketiga untuk dipinjamkan kepada anak perusahaan dengan memberi imbalan.
- Direct loan: Investor perusahaan wajib pajak luar negeri memberikan pinjaman kepada anak perusahaan secara langsung. Sehubungan dengan pemanfaatan pinjaman ini, investor mendapatkan bunga yang besaran umumnya ditentukan oleh pihak investor.
TCR dan Kaitannya dengan Skema Penghindaran Pajak
Jika sebelumnya Anda sudah melihat pengenalan sudut pandang TCR sebagai bagian dari investasi pada sebuah perusahaan, di bagian ini kami juga akan menjelaskan sedikit mengenai hubungan antara TCR dan skema penghindaran pajak.
Dalam praktiknya, thin capitalization adalah strategi yang biasa dilakukan oleh beberapa perusahaan untuk menekan jumlah pajak yang harus dibayar. Untuk mengelola dan memaksimalkan keuntungan perusahaan, pajak menjadi aspek yang harus diperhatikan dengan baik.
Secara konsep, skema penghindaran pajak sebenarnya bersifat legal dan banyak dilakukan oleh perusahaan untuk memaksimalkan keuntungan. Namun praktik ini juga tidak dapat dibenarkan karena berdampak pada penerimaan negara.
Baca Lebih Lanjut: Apa itu Tax Avoidance (Penghindaran Pajak)
Dalam konsep TCR, perusahaan dapat mengurangi beban bunga sehingga penghasilan kena pajak akan lebih kecil. Pengurangan in menyebabkan efek makro berupa berkurangnya potensi pendapatan negara dari pajak.
Dilihat dari subjek pajak dan objek pajaknya, TCR hanya berlaku untuk pembayaran bunga yang dibayarkan dari SPDN (Subjek Pajak Dalam Negeri) kepada SPLN (Subjek Pajak Luar Negeri) yang merupakan pemegang saham substansial dari Subjek Pajak Dalam Negeri.
Baca Juga: Mengenal Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri
Ada beberapa ketentuan terhadap TCR, di antaranya:
- Sebagian atau seluruh pinjaman dari pemegang saham perusahaan afiliasi diklasifikasi sebagai penyertaan modal.
- Pembayaran atas bunga pinjaman yang melebihi Debt to Equity Ratio atau DER tertentu, diperlakukan sebagai pembayaran dividen.
- Biaya bunga atas pinjaman dari pemegang saham perusahaan afiliasi yang melebihi rasio DER dan rasio pinjaman yang telah ditetapkan tidak dapat dibiayakan.
Indonesia mengadopsi aturan terhadap penerapan TCR dari pasal 18 ayat 1 UU PPh yang menyebutkan dimana Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara hutang dan modal perusahaan untuk keperluan perhitungan pajak. Besaran perbandingan ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.010/2015 tentang Penentuan Besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal Perusahaan untuk Keperluan Penghitungan Pajak. Jumlah perbandingan utang dan modal menurut keuntungan terbaru maksimal sebesar 4:1.