Menimbang :
bahwa dalam rangka menunjang Penanaman Modal di Indonesia, meningkatkan perdagangan dalam dan luar negeri, serta untuk meningkatkan kegiatan ekonomi, dipandang perlu mengadakan pengaturan Entrepot Produksi Untuk Tujuan Ekspor (EPTE);
Mengingat :
- Indische Tariefwet, Stbl. 1873 Nomor 35 sebagaimana telah diubah dan ditambah;
- Rechten Ordonnantie, Stbl. 1931 Nomor 471 sebagaimana telah diubah dan ditambah;
- Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing jo. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan Dan Tambahan Undang-undang Nomor 1Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing;
- Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983;
- Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459);
- Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264);
- Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 737/KMK.00/1991 tentang Tata laksana Pabean Di Bidang Impor;
- Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 738/KMK.00/1991 tentang Tata laksana Pabean Di Bidang Ekspor;
Memperhatikan :
Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 1991 tentang Kebijaksanaan Kelancaran Arus Barang Untuk Menunjang Kegiatan Ekonomi;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG ENTREPOT PRODUKSI UNTUK TUJUAN EKSPOR (EPTE).
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Entrepot Produksi Untuk Tujuan Ekspor (EPTE) adalah suatu tempat atau ruangan yang diperuntukkan untuk penyimpanan barang (warehousing) dan pengolahan barang (processing) untuk tujuan ekspor di Wilayah Pabean Indonesia, yang khusus diberikan untuk kepentingan perusahaan yang bersangkutan, dengan batas-batas tertentu yang di dalamnya diberlakukan ketentuan-ketentuan khusus di bidang pabean, yaitu terhadap barang yang dimasukkan dari luar daerah pabean ditangguhkan Bea Masuk (BM), Bea Masuk Tambahan (BMT), Cukai, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM), dan Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh Pasal 22) tidak dipungut, sedangkan untuk penyerahan dalam negeri penyelesaian pungutan-pungutan yang terutang dilakukan berdasarkan ketentuan yang berlaku.
BAB II
PERSYARATAN DAN PERIJINAN
Pasal 2
(1) |
Perusahaan/industri yang dapat ditetapkan sebagai EPTE adalah perusahaan yang : |
a. | Berdomisili di Kawasan Industri, atau |
b. | Berdomisili di luar Kawasan Industri yang memproduksi jenis-jenis barang-barang tertentu yaitu industri yang ditetapkan Menteri Keuangan. |
(2) |
Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah beroperasi pada saat Keputusan ini ditetapkan. |
Pasal 3
(1) | Suatu tempat atau ruangan dapat ditetapkan sebagai EPTE apabila merupakan wilayah terbatas atau ruangan dengan pengamanan tertentu untuk menjamin keamanan dan keselamatan barang-barang yang berada di dalam EPTE serta untuk memudahkan pengawasan oleh petugas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. |
(2) |
Produk barang-barang yang diproses di dalam EPTE harus diekspor seluruhnya. |
(3) |
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku bagi : |
a. hasil produksi sampingan (by product); |
|
dengan toleransi setinggi-tingginya 5% dari bahan yang digunakan dalam produksi. |
|
(4) |
Terhadap barang-barang sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), yang mempunyai nilai komersil dan dijual di dalam negeri, maka atas bahan baku/bahan penolongnya dikenakan pungutan-pungutan sesuai ketentuan yang berlaku. |
Pasal 4
Pengusaha, EPTE dapat diselenggarakan oleh perusahaan :
- Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN);
- Penanaman Modal Asing (PMA);
- Non PMA/PMDN.
Pasal 5
(1) |
Izin EPTE diberikan oleh Menteri Keuangan. |
(2) |
Permohonan izin EPTE diajukan kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Bea dan Cukai dengan menggunakan formulir EPTE – 1 sebagaimana contoh dalam lampiran I dengan melampirkan : |
a. |
Surat Persetujuan Tetap dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) atau ijin usaha dari Menteri terkait. |
b. |
Akte Pendirian Perseroan Terbatas (PT) atau Koperasi yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang. |
c. |
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan SPT Tahunan PPh tahun terakhir. |
d. |
Nama dan alamat pemohon. |
e. |
Lokasi/tempat yang akan dijadikan EPTE. |
f. |
Tata letak gudang penimbunan (warehousing) dan tempat pengolahan (processing). |
(3) |
Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus dilengkapi Berita Acara Hasil Pemeriksaan terhadap persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf e dan f, yang pemeriksaannya didasarkan pada permintaan yang bersangkutan kepada Kantor Inspeksi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai setempat. |
(4) |
Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau pejabat yang ditunjuknya melakukan penelitian terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen. |
(5) |
Apabila permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diterima secara tidak lengkap/benar selambat-lambatnya dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja diberikan surat pemberitahuan kepada pemohon bahwa permohonannya tidak lengkap. |
(6) |
Dalam hal permohonan telah lengkap dan benar, dalam jangka waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja, Direktur Jenderal Bea dan Cukai meneruskan permohonan kepada Menteri Keuangan. |
(7) |
Pemberian atau penolakan ijin EPTE sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dengan menggunakan Formulir EPTE – 2 (untuk persetujuan) sebagaimana contoh dalam Lampiran II atau EPTE – 3 (untuk penolakan) sebagaimana contoh dalam Lampiran III diberikan selambat-lambatnya dalam jangka 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap dan benar. |
Pasal 6
Izin EPTE berlaku selama perusahaan masih menjalankan usahanya.
Pasal 7
Pengusaha EPTE yang telah mendapatkan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, wajib melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
- Menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan prinsip-prinsip yang berlaku umum.
- Mengatur tempat/ruangan bagi barang-barang sesuai dengan tujuan pemasukannya.
- Menyimpan, meletakkan, mengatur dan menatausahakan barang-barang yang ada di dalam EPTE dengan cara yang sebaik-baiknya, baik mengenai pemasukannya (impor), pengolahannya maupun mengenai pengeluarannya dari dalam EPTE.
- Menyampaikan laporan kepada petugas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mengenai :
- Pemasukan dan penyimpanan barang impor ke dalam EPTE, dengan menggunakan Formulir EPTE – 4 sebagaimana contoh dalam Lampiran IV.
- Pengolahan, dengan menggunakan formulir EPTE – 5.
- Pengeluaran :
- Ekspor, dengan menggunakan formulir EPTE – 5 sebagaimana contoh dalam Lampiran V.
- Produksi sampingan, potongan atau limbah yang masih mempunyai nilai komersial, dengan menggunakan formulir EPTE – 6 sebagaimana contoh dalam Lampiran VI.
Pasal 8
Pengusaha EPTE bertanggung jawab mengenai :
- Impor dan ekspor/reekspor barang ke dan dari EPTE.
- Hutang BM, BMT, Cukai, PPN, PPn BM dan PPh Pasal 22 sebagai akibat penyalahgunaan fasilitas yang telah diberikan.
BAB III
PEMASUKAN BARANG DALAM NEGERI DAN
TATALAKSANA IMPOR – EKSPOR – REEKSPOR
KE DAN DARI EPTE
Pasal 9
Barang yang berasal dari luar negeri dapat dikeluarkan dari EPTE untuk tujuan reekspor tanpa pengolahan terlebih dahulu.
Pasal 10
(1) |
Pengeluaran barang dari kawasan pengawasan pabean (douane terrein) dengan tujuan untuk dimasukkan dan disimpan ke dalam EPTE, dilakukan oleh pengusaha EPTE dengan mengajukan formulir EPTE – 4, dilampiri LPS, kepada Bendaharawan Kantor Inspeksi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat pemasukan barang. |
(2) |
Setelah dilakukan pencocokan merk, nomor, jenis, dan jumlah koli, petugas Hanggar Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memberikan persetujuan pengeluaran barang pada formulir EPTE – 4. |
(3) |
Petugas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai di EPTE, setelah selesai pemasukan dan penyimpanan barang ke dalam EPTE memberikan catatan pada formulir EPTE – 4. |
(4) |
Formulir EPTE – 4 setelah dibubuhi catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), dikirimkan kepada Bendaharawan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk penutupan Pemberitahuan Umum (PU). |
Pasal 11
(1) |
Pengeluaran barang-barang yang telah diolah dari EPTE untuk tujuan ekspor, dilakukan oleh pengusaha EPTE dengan mengajukan formulir EPTE – 5, dengan dilampiri dokumen PEB yang telah ditanda sahkan oleh Bank Devisa, kepada petugas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. |
(2) |
Setelah melakukan pemeriksaan mengenai jumlah dan jenis barang, petugas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memberikan persetujuan pengeluaran barang pada formulir EPTE – 5. |
(3) |
Petugas Hanggar Kantor Inspeksi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai di pelabuhan muat melakukan pencocokan jumlah dan jenis koli dan memberikan persetujuan muat pada dokumen PEB. |
(4) |
Dokumen PEB lembar ke 7 dan formulir EPTE – 5, selanjutnya dikirimkan ke Seksi Verifikasi Kantor Inspeksi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai di pelabuhan muat yang bersangkutan. |
Pasal 12
(1) |
Pengeluaran barang dari EPTE berupa hasil produksi sampingan, potongan dan atau limbah yang bernilai komersil, dengan menggunakan formulir EPTE – 6. |
(2) |
Setelah melakukan pemeriksaan pengeluaran barang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan kedapatan sesuai, petugas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memberikan paraf persetujuan pengeluaran pada formulir EPTE – 6. |
BAB IV
PENGAWASAN
Pasal 13
Pengawasan atas kegiatan EPTE dilakukan oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
Pasal 14
(1) |
Dengan perintah tertulis Direktur Jenderal Bea dan Cukai dapat memerintahkan petugas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk melakukan : |
a. |
Pemeriksaan pembukuan mengenai pemasukan, pengolahan dan pengeluaran barang dari dan ke EPTE. |
b. |
Pencacahan barang di dalam EPTE. |
(2) |
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan dan pencacahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdapat ketidak cocokan dalam jumlah dan jenis barang daripada yang diberitahukan, maka atas barang tersebut dinyatakan terhutang BM, BMT, Cukai, PPN, PPn BM, dan PPh Pasal 22, dan pengusaha EPTE bertanggung jawab atas pelunasannya. |
(3) |
Dalam hal barang yang dimasukkan ke EPTE rusak atau busuk, pengusaha EPTE dapat memilih : |
a. |
direekspor; |
b. |
Untuk barang-barang dari dalam negeri dikembalikan ke peredaran bebas dengan memenuhi ketentuan perpajakan; atau |
c. |
dimusnahkan. |
(4) |
Dalam hal barang tersebut dimusnahkan, berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. |
Pasal 15
(1) |
Pemusnahan atas barang-barang sisa hasil produksi yang tidak dapat diekspor atau dijual di dalam negeri, atau atas barang-barang yang busuk atau rusak yang terdapat di dalam EPTE hanya dapat dilakukan setelah diperiksa oleh petugas pengawas/pemeriksa dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. |
(2) |
Hasil pemeriksaan serta pemusnahan dituangkan dalam suatu Berita Acara. |
BAB V
PENCABUTAN IJIN
Pasal 16
(1) |
Izin EPTE dicabut apabila : |
a. |
Tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. |
b. |
Melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. |
c. |
Dalam jangka waktu 6 (enam) bulan berturut-turut sama sekali tidak melakukan kegiatan. |
(2) |
Pencabutan izin dimaksud ayat (1) dilakukan oleh Menteri Keuangan. |
Pasal 17
Dalam hal izin EPTE dicabut, Kepala Kantor Inspeksi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai setempat segera mengadakan pencatatan atas barang-barang yang masih tersisa pada EPTE yang bersangkutan, dan kepada pengusaha EPTE dapat memilih :
- Memasukkan barang tersebut ke peredaran bebas setelah melunasi BM, BMT, Cukai, PPN, PPn BM dan PPh Pasal 22 yang terhutang, dengan ketentuan untuk barang-barang yang terkena ketentuan tataniaga harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Departemen Perdagangan.
- Direekspor.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 18
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di JAKARTA
pada tanggal 13 Februari 1993
MENTERI KEUANGAN,
ttd
J. B. SUMARLIN